Kenapa Indonesia Tak Maju-maju ?
Indonesia telah tertinggal dalam pengembangan sains, teknologi, serta kualitas pendidikan tinggi. Tidak hanya di tingkat dunia, tetapi juga di lingkup yang lebih kecil seperti ASEAN.
Chairil Abidin, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menguraikan, penyebab ketertinggalan itu terurai dalam Hal itu tertuang dalam Buku Putih Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045.
Chairil mengatakan, pendidikan tinggi menghadapi sejumlah kendala dalam melakukan riset, seperti ketidaksesuaian waktu mengajar dan waktu penelitian, keterbatasan anggaran serta fasilitas riset, dan insentif yang tidak menarik bagi peneliti.
Chairil Abidin, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menguraikan, penyebab ketertinggalan itu terurai dalam Hal itu tertuang dalam Buku Putih Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045.
Chairil mengatakan, pendidikan tinggi menghadapi sejumlah kendala dalam melakukan riset, seperti ketidaksesuaian waktu mengajar dan waktu penelitian, keterbatasan anggaran serta fasilitas riset, dan insentif yang tidak menarik bagi peneliti.
Kompetensi guru juga ikut memberikan sumbangsih. Hasil rata-rata uji kompetensi guru pada tahun 2015 hanya 53,02 persen. Untuk calon guru, nilai uji kompetensi lebih rendah lagi, 44 persen kemampuan di bidang kompetensi dan 56,69 di bidang pedagogik.
"Tidak ada anak SMA yang bright yang mau menjadi guru. Persoalan kualitas dosen yang dirilis Asia Week tahun 2000, Indonesia berada di bawah kualitas Singapura, Filipina, Thailand, Malaysia," kata Chairil dalam peluncuran buku putih itu di Jakarta
Faktor bahasa rupanya juga tidak dapat disepelekan. Mengutip penelitian Richard Horton, faktor bahasa menjadi kendala utama kuranngya suara Indonesia dalam penelitian di tingkat global, khususnya kesehatan dan kedokteran.
Sebelum Indonesia merdeka, pernah terdapat kewajiban membaca buku sastra sebanyak 25 judul di Algemene Middelbare School (Pendidikan Menengah) Hindia Belanda A dan 15 Judul pada AMS Hindia Belanda B, 15 judul.
Namun, sejak 1950an, secara bertahap kewajiban itu hilang. "Taufik Ismail sebut sekarang anak SMA nol buku. Mahasiswa juga nol buku hanya diktator, belajar dari diktat yang ditulis 20 tahun lalu," ujar Chairil. Chairl bercerita pengalamannya saat menghadiri pertemuan antara pelaku usaha dan universitas ternama di kantor Wakil Presiden BJ Habibie tahun 1998.
Usai pertemuan itu, salah seorang dosen mengungkapkan bahwa buku ajar yang digunakannnya tidak lagi relevan.
"Faktor gizi juga berperan. Ada 37 persen prevalensi tubuh pendek dengan rata-rata IQ 89. Jadi tidak heran kalau skor PISA (Programme for Internasional Student Assessment) kita rendah," ucap Chairil.
Menurut Chairil, Indoneisa telah masuk masa krisis dalam pengembangan iptek. Untuk itu, mewakili AIPI, ia meminta kepada pemerintah untuk membenahi kualitas iptek. Salah satunya dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi diharapakan dapat menaikan daya beli masyarakat terhadap hasil industri dalam negeri.
Universitas dapat bekerja sama dengan pelaku industri untuk mendongrak industri dalam negeri. Selain itu, hal paling utama paling utama adalah lingkungan kondusif bagi inovasi nasional.
Tuntutan persaingan yang ketat, melumat demarkasi waktu di dunia bisnis. Termasuk juga dalam hal perkembangan riset yang tentu saja didasarkan pada ilmu pengetahuan. Maka tak heran, di perusahaan-perusahaan besar dan terlibat persaingan sengit dengan kompetitornya, divisi riset memegang peranan vital.
Divisi riset, menjadi semacam dapur untuk meramu berbagai racikan inovasi yang selalu ditunggu-tunggu oleh konsumen. Ketatnya persaingan yang berbasis sains ini, menyebabkan ukuran sukses sebuah perusahaan perlahan mengalami pergeseran. Bukan lagi besarnya angka penjualan yang menjadi parameter, bukan pula harga melangit yang menandakan gengsi yang ditawarkan.
Kini, perusahaan yang disegani adalah mereka yang paling inovatif dan mampu melahirkan produk-produk bercitarasa teknologi tinggi sehingga memiliki perbedaan (diferensiasi) otentik dibandingkan dengan kompetitornya. Sebuah perusahaan, bisa saja sukses dalam angka penjualan. Namun jika ia miskin inovasi, tak mampu melahirkan produk dengan sentuhan teknologi, maka lambat laun akan tertelan oleh pesaing. Mekskipun menawarkan produk dengan harga yang lebih murah.
Sebaliknya, konsumen akan dengan suka rela membayar lebih tinggi untuk memiliki sebuah produk yang sarat teknologi. Konsumen yang kian terdidik, tentu lebih memilih manfaat ketimbang harga. Jika dua buah produk yang sejenis ditawarkan. Produk A memiliki teknologi di atas rata-rata tapi denga harga Rp 10.000.000, sementara produk B ditawarkan dengan harga standar, namun harga murah tersebut ditebus oleh pemasangan teknologi yang juga ala kadarnya yang sudah hampir bisa dipastikan berkonsekuensi pada kenyamanan pengguna. Bagi konsumen yang memperhatikan utilitas, harga mahal produk A, namun nyaman dipakai tentu saja menjadi pilihan.
Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka dapat dipahami jika sebuah perusahaan membutuhkan dukungan riset untuk melakukan inovasi dan membenamkan teknologi tinggi dalam produk-produk mereka.
Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa hanya negara-negara yang maju di bidang sains saja yang mampu melahirkan produk-produk berbasis teknologi tinggi. Bahwa ternyata perkembangan sains, tak bisa dipisahkan dari inovasi. Sains adalah adalah mata air yang tak pernah kering mengalirkan ide-ide inovatif. Makin maju sains di satu negara, maka makin besar peluang negara tersebut menjadi negara maju. Singkatnya, negara-negara maju mampu mengawinkan sains dengan industri melalui medium inovasi.
Merujuk dari data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tiga besar negara dengan tingkat sains paling maju di dunia datang dari tiga benua berbeda. Yakni ada AS dari benua Amerika yang menduduki peringkat pertama. Lalu China di peringkat kedua dunia, sekaligus merupakan negara pusat sains di Asia. Jerman, menduduki peringkat ketiga di dunia dan peringkat pertama di Eropa.
Yang agak membingungkan dari rilis OECD ini, mengapa China berada di posisi kedua. Sementara jika diukur dari produk-produk yang dihasilkan, China belum bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara Eropa seperti Jerman maupun Inggris. Kita belum pernah mendengar, ada hasil terobosan dari industri China yang berbasis sains dan kualitas mendunia sebagaimana misalnya Jerman punya merek sekelas BMW, Siemens, Bosch, maupun Bayer.
Adapun AS yang duduk di peringkat pertama, tentu tak diragukan lagi. AS punya banyak merek yang berbasis pada inovasi tinggi seperti Boeing dibidang dirgantara, Apple di bidang teknologi informasi dan Levi’s di bidang teknologi fashion. Dalam daftar bertajuk The World's Best Countries in Science tersebut, Indonesia tidak nampak kelihatan. Di Asia Tenggara, hanya Singapura satu-satunya negara yang masuk dalam daftar jajaran 40 Negara Terbaik di Bidang Sains.
Alih teknologi memang dipandang sudah saatnya dilakukan Indonesia sebab menurut Global Competitiveness Report 2012-2013, Indonesia bahkan masih tertinggal dari negara lain dalam satu kawasan ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Meskipun Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk besar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Ade Padmo Sarwono, Konsul Jenderal RI Perth, dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa suatu negara bisa menjadi negara maju ketika menciptakan inovasi.Contoh yang diambil Ade adalah Korea Selatan yang dahulu memiliki pemerintahan bergaya militer, kini menjadi produsen teknologi tingkat dunia. Bahkan mampu mengungguli negara tetangganya Jepang yang sejak kekalahan perang dunia II berevolusi menjadi negara dengan kemajuan teknologi.
Sementara itu, Unggul Priyanto mengungkapkan, yang diperlukan Indonesia saat ini adalah perbaikan infrastruktur, reformasi birokrasi yang dapat menciptakan tata kelola yang baik (good governance), serta peningkatan kondisi ekonomi mikro yang menjadi kekuatan Indonesia.
BPPT sendiri selama ini telah melakukan banyak hal dalam penerapan teknologi di berbagai sektor. Seperti pada tahun 2016 yang lalu, BPPT berhasil menelurkan beberapa inovasi penting. Seperti dalam inovasi material, yang berhasil meramu karet berkualitas tinggi yang mampu diproduksi menjadi rubber airbag yang digunakan untuk proses perpindahan kapal dari bengkel galangan menuju laut. Berkat produk dalam negeri ini, para produsen kapal dapat menghemat biaya produksi hingga 30 persen.
Selain itu juga terdapat inovasi ADS-B atau alat navigasi pesawat akan dipakai di sejumlah bandara di Papua yang sangat berguna bagi lapangan-lapangan udara yang tidak memiliki teknologi radar. Teknologi ini telah digunakan pada 36 bandara di Indonesia.
Di bidang teknologi energi, BPPT berhasil mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil tipe flash yang saat ini telah mencapai tahapan sinkronisasi dengan jaringan PLN. PLTP ini diklaim mampu menghemat biaya pembangkit listrik berbasis diesel hingga 1 Triliun rupiah per tahunnya.
Pun dalam hal teknologi informasi, BPPT pada Pemilu Kepala Daerah 2017 yang lalu berhasil menerapkan teknologi verifikasi eKTP di beberapa lokasi. Teknologi ini dianggap mampu mencegah terjadinya pencoblos ganda.
Berkat peningkatan alih teknologi, industri di Indonesia tidak lagi memerlukan bahan baku atau bahkan teknologi yang dibeli dari luar negeri. Hal ini tentu saja akan membuat produk-produk di dalam negeri lebih murah karena teknologi yang dibutuhkan asli karya dalam negeri dan tidak harus terbebani oleh biaya impor. Bahkan jika semakin banyak teknologi yang dikembangkan di Indonesia, tenaga kerja yang terserap oleh industri akan semakin besar dan tentu saja akan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Meski begitu, Unggul mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tantangan penerapan teknologi yang harus dihadapi. Diantaranya adalah standarisasi produk, pendidikan, penelitian, dan pengembangan, kerjasama dengan industri, infrastruktur, hingga sistem politik dan perundang-undangan. Oleh sebab itu, Unggul menekankan bahwa dalam implementasi inovasi teknologi diperlukan kerjasama tiga komponen yakni pemerintah, industri serta lembaga pemerintah non kementerian yang bergerak di bidang riset dan pengembangan agar implementasi teknologi berjalan maksimal.
Mengapa Negara Maju Identik dengan Sains ?
Perkembangan dunia kita saat ini yang begitu cepat, didorong oleh berbagai faktor. Sains salah satunya. Sains atau ilmu pengetahuan yang tumbuh pesat dari dunia akademik yang lalu diadopsi ke dunia praktis, bisa dikatakan sebagai lokomotif yang menarik berbagai elemen pendukung masuk ke pusaran perubahan. Bisnis berbasis sains, muncul dengan berbagai model inovasi yang sangat dinamis. Seperti ruang eksperimentasi yang tak betepi, berbagai varian produk industri muncul.Tuntutan persaingan yang ketat, melumat demarkasi waktu di dunia bisnis. Termasuk juga dalam hal perkembangan riset yang tentu saja didasarkan pada ilmu pengetahuan. Maka tak heran, di perusahaan-perusahaan besar dan terlibat persaingan sengit dengan kompetitornya, divisi riset memegang peranan vital.
Divisi riset, menjadi semacam dapur untuk meramu berbagai racikan inovasi yang selalu ditunggu-tunggu oleh konsumen. Ketatnya persaingan yang berbasis sains ini, menyebabkan ukuran sukses sebuah perusahaan perlahan mengalami pergeseran. Bukan lagi besarnya angka penjualan yang menjadi parameter, bukan pula harga melangit yang menandakan gengsi yang ditawarkan.
Kini, perusahaan yang disegani adalah mereka yang paling inovatif dan mampu melahirkan produk-produk bercitarasa teknologi tinggi sehingga memiliki perbedaan (diferensiasi) otentik dibandingkan dengan kompetitornya. Sebuah perusahaan, bisa saja sukses dalam angka penjualan. Namun jika ia miskin inovasi, tak mampu melahirkan produk dengan sentuhan teknologi, maka lambat laun akan tertelan oleh pesaing. Mekskipun menawarkan produk dengan harga yang lebih murah.
Sebaliknya, konsumen akan dengan suka rela membayar lebih tinggi untuk memiliki sebuah produk yang sarat teknologi. Konsumen yang kian terdidik, tentu lebih memilih manfaat ketimbang harga. Jika dua buah produk yang sejenis ditawarkan. Produk A memiliki teknologi di atas rata-rata tapi denga harga Rp 10.000.000, sementara produk B ditawarkan dengan harga standar, namun harga murah tersebut ditebus oleh pemasangan teknologi yang juga ala kadarnya yang sudah hampir bisa dipastikan berkonsekuensi pada kenyamanan pengguna. Bagi konsumen yang memperhatikan utilitas, harga mahal produk A, namun nyaman dipakai tentu saja menjadi pilihan.
Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka dapat dipahami jika sebuah perusahaan membutuhkan dukungan riset untuk melakukan inovasi dan membenamkan teknologi tinggi dalam produk-produk mereka.
Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa hanya negara-negara yang maju di bidang sains saja yang mampu melahirkan produk-produk berbasis teknologi tinggi. Bahwa ternyata perkembangan sains, tak bisa dipisahkan dari inovasi. Sains adalah adalah mata air yang tak pernah kering mengalirkan ide-ide inovatif. Makin maju sains di satu negara, maka makin besar peluang negara tersebut menjadi negara maju. Singkatnya, negara-negara maju mampu mengawinkan sains dengan industri melalui medium inovasi.
Merujuk dari data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tiga besar negara dengan tingkat sains paling maju di dunia datang dari tiga benua berbeda. Yakni ada AS dari benua Amerika yang menduduki peringkat pertama. Lalu China di peringkat kedua dunia, sekaligus merupakan negara pusat sains di Asia. Jerman, menduduki peringkat ketiga di dunia dan peringkat pertama di Eropa.
Yang agak membingungkan dari rilis OECD ini, mengapa China berada di posisi kedua. Sementara jika diukur dari produk-produk yang dihasilkan, China belum bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara Eropa seperti Jerman maupun Inggris. Kita belum pernah mendengar, ada hasil terobosan dari industri China yang berbasis sains dan kualitas mendunia sebagaimana misalnya Jerman punya merek sekelas BMW, Siemens, Bosch, maupun Bayer.
Adapun AS yang duduk di peringkat pertama, tentu tak diragukan lagi. AS punya banyak merek yang berbasis pada inovasi tinggi seperti Boeing dibidang dirgantara, Apple di bidang teknologi informasi dan Levi’s di bidang teknologi fashion. Dalam daftar bertajuk The World's Best Countries in Science tersebut, Indonesia tidak nampak kelihatan. Di Asia Tenggara, hanya Singapura satu-satunya negara yang masuk dalam daftar jajaran 40 Negara Terbaik di Bidang Sains.
Mengapa Umat Muslim Terbelakang dalam Perkembangan Sains Modern?
Sebanyak kurang lebih 41 persen negara-negara mayoritas Muslim (20 persen dari populasi dunia) berkontribusi kurang dari 5 persen pada perkembangan sains modern. Sementara itu, kita ambil satu negara mayoritas non-Muslim sebagai contoh, Inggris. Negara ini populasinya cuma kurang dari 1 persen dari populasi dunia tetapi mampu menyumbangkan 16 persen pada perkembangan sains modern. Suatu ketimpangan yang menyakitkan jika Anda seorang yang mengaku Muslim.
Indikator lain yang bisa mengukuhkan ketertinggalan itu ialah bahwa hanya ada tiga orang pemenang Anugerah Nobel sampai saat ini dalam bidang sains. Mereka adalah Abdus Salam, Ahmed Zewail dan Aziz Sancar. Padahal jumlah total pemenang Nobel sudah ada lebih dari 600 orang. Artinya cuma 0,00005 persen dari daftar pemenang Nobel adalah Muslim. Ini menjadi sebuah fakta yang mengiris hati karena populasi Muslim dunia mencapai lebih dari 15 persen dari populasi dunia.
Mengapa umat Islam bisa begitu ketinggalan dalam hal sains? Ada apa dengan para ilmuwan Islam saat ini?
Jika kita mau membaca lagi catatan sejarah, prestasi sains umat Muslim memang dahulu cemerlang sekali. Bahkan konon sampai melebihi pencapaian peradaban Barat ( Kristen Eropa). Muslim mendominasi perkembangan sains dunia semasa tahun 800 Masehi sampai sekitar 3 abad kemudian. Umat Muslim saat itu menikmati kemajuan sains, ekonomi dan budaya yang mengagumkan di bawah pemerintahan kalifah Harun al-Rashid (786-809 Masehi) hingga beberapa kalifah setelahnya. Inilah yang disebut sebagai Masa Kejayaan Islam. Masa ini berakhir setelah kalifah Abbasid ditaklukkan Mongol dan direbutnya Baghdad pada tahun 1258 M. Menurut Wikipedia, sejumlah cendekiawan sepakat bahwa akhir masa ini ialah akhir abad ke-15 sampai abad ke-16 M.
Apa yang terjadi kemudian ialah keruntuhan dari dalam diri umat Muslim itu. Faktor-faktor pendorong kemunduran itu misalnya ialah tingkat korupsi yang merajalela dalam pemerintahan negara-negara mayoritas Muslim. Para politisi dan pemerintah negara-negara mayoritas Muslim bukan penggemar sains. Mereka – meskipun tidak semua - berpolitik hanya demi kekuasaan dan kekayaan. Perkembangan negara apalagi umat bukan prioritas utama. Kita semua tidak usah mencari contoh jauh-jauh ke negara lain. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia sudah menjadi contoh yang memalukan soal korupsi.
Faktor lain yang menjadi penyumbang kemunduran sains umat Muslim ialah karakteristik-karakteristik pendidikan masyarakat Muslim yang kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Konservatisme dalam segala lini pendidikan mereka yang sudah mengakar membuat umat Muslim sangat sukar mengembangkan sains. Akibat dari pendidikan yang terbelakang ini ialah kualitas pendidikannya yang juga lebih rendah, yang pada gilirannya menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu menyedihkan. Ditambah dengan ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat Muslim pada perkembangan pendidikan, peningkatan sains di negara-negara Muslim sudah bukan prioritas utama.
Indonesia sudah menjadi bukti nyata dengan menjadi raksasa paling pandir di kawasan Asia Tenggara (baca: Kualitas Pendidikan Indonesia Terendah di ASEAN). Rendahnya mutu pendidikan dalam negara-negara Muslim membuat manusia-manusia cerdas di dalamnya harus belajar ke Barat demi melanjutkan proses studi mereka. Karena itulah, mayoritas kampus Inggris dan AS mampu menghasilkan kontribusi sains yang besar. Itu karena mereka juga diperkuat oleh sumber daya manusia unggul dari berbagai negara termasuk negara-negara Muslim. Masalah kualitas pendidikan yang memprihatinkan ini menjadi pekerjaan rumah yang maha besar bagi umat Muslim saat ini dan sampai saat ini rasanya belum ada upaya berkesinambungan dan masif untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal lain yang juga ikut menghambat perkembangan sains dalam peradaban Muslim ialah fakta bahwa produksi sains di tengah umat Muslim cuma diperuntukkan dalam lingkaran elit saja. Dan orang-orang di dalam kelompok eksklusif ini cuma segelintir saja dibandingkan umat yang begitu melimpah ruah. Padahal jika ingin lebih cepat maju dan perkembangan tercapai lebih mantap, seharusnya semua elemen Muslim kompak dan bersatu dan memajukan sains bersama-sama tanpa mempedulikan sekat elitisme.
Faktor lainnya ialah penindasan kaum perempuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Barat sebetulnya. Tetapi dengan adanya sejumlah faktor lain, pengekangan kaum Hawa dalam menuntut ilmu yang setara dengan laki-laki ikut membuat perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim mandek. Mereka lupa bahwa wanita-wanita juga tiang umat. Kaum Hawa ialah pemberi pendidikan anak-anak mereka yang pertama dan utama. Di sinilah letak celah kelemahan penyebab kemunduran itu ada.
Faktor selanjutnya yakni dampak negatif dari penjajahan Barat di Asia. Sebagaimana kita ketahui, bangsa-bangsa mayoritas Muslim berada di Asia. Dalam masa penindasan Barat, bangsa-bangsa Timur yang didominasi Muslim seperti Indonesia juga mengalami kemandekan dalam perkembangan sainsnya. Sensor dan pelarangan karya-karya ilmiah dilakukan. Penerbitan dikekang. Penghancuran sejumlah tempat pendidikan yang didirikan Muslim juga bukan hal yang aneh semasa pendudukan kaum Kolonial Barat.
Faktor berikutnya yang tidak kalah siginifikan dalam menghambat perkembangan sains dalam umat Muslim ialah merajalelanya kemiskinan di negara-negara mayoritas Muslim. Kita ambil contoh Indonesia. Baru-baru ini Biro Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan Indonesia tahun ini mencapai 28,01 juta jiwa atau sebanyak 10,86 persen dari rakyat kita. Angka kemiskinan naik. Demikian juga tingkat kesenjangan ekonomi kita, yang sebelumnya 0,71 menjadi 0,79.
Karena membiayai perkembangan sains bukanlah perkara yang murah, bahkan amat sangat mahal, sementara sebagian besar negara muslim dunia masih terbelakang dan miskin atau masih berkembang, menjadikan sains sebagai prioritas (daripada pemenuhan kebutuhan pokok yang lebih vital seperti sandang, pangan dan papan) tampaknya konyol padahal investasi sains dalam jangka panjang sejatinya akan sangat menguntungkan. Tetapi itu teorinya.
Praktiknya? Orang akan menolak membaca buku apalagi belajar jika perut mereka masih lapar atau masih kebingungan harus tinggal di mana malam nanti. Kompleks memang masalahnya. Sementara itu, negara-negara Muslim lain yang lebih makmur seperti negara-negara di kawasan Teluk (Semenanjung Arab) yang kaya minyak bumi masih relatif muda usianya sehingga belum banyak memiliki lembaga penelitian kaliber dunia yang mumpuni dalam menelurkan inovasi-inovasi sains yang substansial.
Pola pikir yang turut membuat Muslim tidak membuat kemajuan berarti dalam dunia sains modern ialah konsensus atau kesepakatan bersama yang kuat bahwa peran agama ialah sebagai sebuah landasan berpikir yang konstan, absolut dan kaku. Sikap kritis terhadap agama ditolak, sehingga umat Muslim menjadi lebih eksklusif, tertutup dari perkembangan dunia luar. Seekor katak dalam tempurung kelapa, atau seekor ikan dalam gelas mungil. Pergerakannya terbatas. Tidak bisa ke mana-mana. Seperti itulah pengibaratan perkembangan sains dalam umat Muslim saat ini.
Alasan kemunduran sains itu juga diduga berasal dari upaya interpretasi sejumlah pihak atas karya Imam al-Ghazali (salah satu tokoh Muslim paling menonjol dalam perkembangan Islam sejak Rasulullah SAW sendiri). Interpretasi radikal itu memicu Muslim untuk menghapus sejumlah cabang sains yang dicap “tidak dikehendaki”. Salah satu tokoh bernama Hamid al_Ghazali bahkan pernah menyatakan bahwa matematika ialah “karya dari setan”. Pernyataannya itu amat berpengaruh dan membuat dampak yang besar bagi perkembangan ilmu tersebut di peradaban Muslim.
Alasan lainnya ialah karena menurut saya umat Muslim saat ini terlalu reaktif kegaduhan eksternal dan ‘insecure’ (kurang percaya diri) mengenai dirinya sendiri dengan tersedot ke ranah politik. Mereka ingin sekali merebut hegemoni dunia dari Barat (baca:Kristen) sehingga sangat bernafsu mempertahankan kendali kekuasaan di berbagai lini. Tetapi sayangnya mereka lupa, bahwa hegemoni Barat itu dibangun tidak melulu dari aspek politik. Hegemoni itu dibangun dari berbagai bidang. Dan sains adalah salah satunya. Dan payahnya, sains merupakan salah satu di antara banyak celah kelemahan umat Muslim yang sebenarnya bisa menjadi kunci kebangkitannya tetapi kerap terlupakan.
Mengapa Indonesia Harus Meningkatkan Alih Teknologi ?
Inovasi teknologi saat ini dianggap sebagai salah satu penentu kemajuan sebuah bangsa. Memasuki revolusi teknologi keempat Indonesia dianggap masih harus mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju lainnya dalam hal kemajuan teknologi. Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan alih teknologi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005 alih teknologi sendiri merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.
Seperti diberitakan detik.com dari hasil diskusi di Perth, Australia pada Minggu 5 Februari yang lalu. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto mengungkapkan bahwa Indonesia perlu mengubah paradigma ekonomi berbasis efisiensi (efficiency-driven economy) yang sangat bergantung pada sumber daya asing, menjadi ekonomi berbasis inovasi (innovation-driven economy) yang mengandalkan produk hasil inovasi anak bangsa serta alih teknologi.
Alih teknologi memang dipandang sudah saatnya dilakukan Indonesia sebab menurut Global Competitiveness Report 2012-2013, Indonesia bahkan masih tertinggal dari negara lain dalam satu kawasan ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Meskipun Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk besar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sebanyak kurang lebih 41 persen negara-negara mayoritas Muslim (20 persen dari populasi dunia) berkontribusi kurang dari 5 persen pada perkembangan sains modern. Sementara itu, kita ambil satu negara mayoritas non-Muslim sebagai contoh, Inggris. Negara ini populasinya cuma kurang dari 1 persen dari populasi dunia tetapi mampu menyumbangkan 16 persen pada perkembangan sains modern. Suatu ketimpangan yang menyakitkan jika Anda seorang yang mengaku Muslim.
Indikator lain yang bisa mengukuhkan ketertinggalan itu ialah bahwa hanya ada tiga orang pemenang Anugerah Nobel sampai saat ini dalam bidang sains. Mereka adalah Abdus Salam, Ahmed Zewail dan Aziz Sancar. Padahal jumlah total pemenang Nobel sudah ada lebih dari 600 orang. Artinya cuma 0,00005 persen dari daftar pemenang Nobel adalah Muslim. Ini menjadi sebuah fakta yang mengiris hati karena populasi Muslim dunia mencapai lebih dari 15 persen dari populasi dunia.
Mengapa umat Islam bisa begitu ketinggalan dalam hal sains? Ada apa dengan para ilmuwan Islam saat ini?
Jika kita mau membaca lagi catatan sejarah, prestasi sains umat Muslim memang dahulu cemerlang sekali. Bahkan konon sampai melebihi pencapaian peradaban Barat ( Kristen Eropa). Muslim mendominasi perkembangan sains dunia semasa tahun 800 Masehi sampai sekitar 3 abad kemudian. Umat Muslim saat itu menikmati kemajuan sains, ekonomi dan budaya yang mengagumkan di bawah pemerintahan kalifah Harun al-Rashid (786-809 Masehi) hingga beberapa kalifah setelahnya. Inilah yang disebut sebagai Masa Kejayaan Islam. Masa ini berakhir setelah kalifah Abbasid ditaklukkan Mongol dan direbutnya Baghdad pada tahun 1258 M. Menurut Wikipedia, sejumlah cendekiawan sepakat bahwa akhir masa ini ialah akhir abad ke-15 sampai abad ke-16 M.
Apa yang terjadi kemudian ialah keruntuhan dari dalam diri umat Muslim itu. Faktor-faktor pendorong kemunduran itu misalnya ialah tingkat korupsi yang merajalela dalam pemerintahan negara-negara mayoritas Muslim. Para politisi dan pemerintah negara-negara mayoritas Muslim bukan penggemar sains. Mereka – meskipun tidak semua - berpolitik hanya demi kekuasaan dan kekayaan. Perkembangan negara apalagi umat bukan prioritas utama. Kita semua tidak usah mencari contoh jauh-jauh ke negara lain. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia sudah menjadi contoh yang memalukan soal korupsi.
Faktor lain yang menjadi penyumbang kemunduran sains umat Muslim ialah karakteristik-karakteristik pendidikan masyarakat Muslim yang kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Konservatisme dalam segala lini pendidikan mereka yang sudah mengakar membuat umat Muslim sangat sukar mengembangkan sains. Akibat dari pendidikan yang terbelakang ini ialah kualitas pendidikannya yang juga lebih rendah, yang pada gilirannya menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu menyedihkan. Ditambah dengan ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat Muslim pada perkembangan pendidikan, peningkatan sains di negara-negara Muslim sudah bukan prioritas utama.
Indonesia sudah menjadi bukti nyata dengan menjadi raksasa paling pandir di kawasan Asia Tenggara (baca: Kualitas Pendidikan Indonesia Terendah di ASEAN). Rendahnya mutu pendidikan dalam negara-negara Muslim membuat manusia-manusia cerdas di dalamnya harus belajar ke Barat demi melanjutkan proses studi mereka. Karena itulah, mayoritas kampus Inggris dan AS mampu menghasilkan kontribusi sains yang besar. Itu karena mereka juga diperkuat oleh sumber daya manusia unggul dari berbagai negara termasuk negara-negara Muslim. Masalah kualitas pendidikan yang memprihatinkan ini menjadi pekerjaan rumah yang maha besar bagi umat Muslim saat ini dan sampai saat ini rasanya belum ada upaya berkesinambungan dan masif untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal lain yang juga ikut menghambat perkembangan sains dalam peradaban Muslim ialah fakta bahwa produksi sains di tengah umat Muslim cuma diperuntukkan dalam lingkaran elit saja. Dan orang-orang di dalam kelompok eksklusif ini cuma segelintir saja dibandingkan umat yang begitu melimpah ruah. Padahal jika ingin lebih cepat maju dan perkembangan tercapai lebih mantap, seharusnya semua elemen Muslim kompak dan bersatu dan memajukan sains bersama-sama tanpa mempedulikan sekat elitisme.
Faktor lainnya ialah penindasan kaum perempuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Barat sebetulnya. Tetapi dengan adanya sejumlah faktor lain, pengekangan kaum Hawa dalam menuntut ilmu yang setara dengan laki-laki ikut membuat perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim mandek. Mereka lupa bahwa wanita-wanita juga tiang umat. Kaum Hawa ialah pemberi pendidikan anak-anak mereka yang pertama dan utama. Di sinilah letak celah kelemahan penyebab kemunduran itu ada.
Faktor selanjutnya yakni dampak negatif dari penjajahan Barat di Asia. Sebagaimana kita ketahui, bangsa-bangsa mayoritas Muslim berada di Asia. Dalam masa penindasan Barat, bangsa-bangsa Timur yang didominasi Muslim seperti Indonesia juga mengalami kemandekan dalam perkembangan sainsnya. Sensor dan pelarangan karya-karya ilmiah dilakukan. Penerbitan dikekang. Penghancuran sejumlah tempat pendidikan yang didirikan Muslim juga bukan hal yang aneh semasa pendudukan kaum Kolonial Barat.
Faktor berikutnya yang tidak kalah siginifikan dalam menghambat perkembangan sains dalam umat Muslim ialah merajalelanya kemiskinan di negara-negara mayoritas Muslim. Kita ambil contoh Indonesia. Baru-baru ini Biro Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan Indonesia tahun ini mencapai 28,01 juta jiwa atau sebanyak 10,86 persen dari rakyat kita. Angka kemiskinan naik. Demikian juga tingkat kesenjangan ekonomi kita, yang sebelumnya 0,71 menjadi 0,79.
Karena membiayai perkembangan sains bukanlah perkara yang murah, bahkan amat sangat mahal, sementara sebagian besar negara muslim dunia masih terbelakang dan miskin atau masih berkembang, menjadikan sains sebagai prioritas (daripada pemenuhan kebutuhan pokok yang lebih vital seperti sandang, pangan dan papan) tampaknya konyol padahal investasi sains dalam jangka panjang sejatinya akan sangat menguntungkan. Tetapi itu teorinya.
Praktiknya? Orang akan menolak membaca buku apalagi belajar jika perut mereka masih lapar atau masih kebingungan harus tinggal di mana malam nanti. Kompleks memang masalahnya. Sementara itu, negara-negara Muslim lain yang lebih makmur seperti negara-negara di kawasan Teluk (Semenanjung Arab) yang kaya minyak bumi masih relatif muda usianya sehingga belum banyak memiliki lembaga penelitian kaliber dunia yang mumpuni dalam menelurkan inovasi-inovasi sains yang substansial.
Pola pikir yang turut membuat Muslim tidak membuat kemajuan berarti dalam dunia sains modern ialah konsensus atau kesepakatan bersama yang kuat bahwa peran agama ialah sebagai sebuah landasan berpikir yang konstan, absolut dan kaku. Sikap kritis terhadap agama ditolak, sehingga umat Muslim menjadi lebih eksklusif, tertutup dari perkembangan dunia luar. Seekor katak dalam tempurung kelapa, atau seekor ikan dalam gelas mungil. Pergerakannya terbatas. Tidak bisa ke mana-mana. Seperti itulah pengibaratan perkembangan sains dalam umat Muslim saat ini.
Alasan kemunduran sains itu juga diduga berasal dari upaya interpretasi sejumlah pihak atas karya Imam al-Ghazali (salah satu tokoh Muslim paling menonjol dalam perkembangan Islam sejak Rasulullah SAW sendiri). Interpretasi radikal itu memicu Muslim untuk menghapus sejumlah cabang sains yang dicap “tidak dikehendaki”. Salah satu tokoh bernama Hamid al_Ghazali bahkan pernah menyatakan bahwa matematika ialah “karya dari setan”. Pernyataannya itu amat berpengaruh dan membuat dampak yang besar bagi perkembangan ilmu tersebut di peradaban Muslim.
Alasan lainnya ialah karena menurut saya umat Muslim saat ini terlalu reaktif kegaduhan eksternal dan ‘insecure’ (kurang percaya diri) mengenai dirinya sendiri dengan tersedot ke ranah politik. Mereka ingin sekali merebut hegemoni dunia dari Barat (baca:Kristen) sehingga sangat bernafsu mempertahankan kendali kekuasaan di berbagai lini. Tetapi sayangnya mereka lupa, bahwa hegemoni Barat itu dibangun tidak melulu dari aspek politik. Hegemoni itu dibangun dari berbagai bidang. Dan sains adalah salah satunya. Dan payahnya, sains merupakan salah satu di antara banyak celah kelemahan umat Muslim yang sebenarnya bisa menjadi kunci kebangkitannya tetapi kerap terlupakan.
Mengapa Indonesia Harus Meningkatkan Alih Teknologi ?
Inovasi teknologi saat ini dianggap sebagai salah satu penentu kemajuan sebuah bangsa. Memasuki revolusi teknologi keempat Indonesia dianggap masih harus mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju lainnya dalam hal kemajuan teknologi. Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan alih teknologi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2005 alih teknologi sendiri merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.
Seperti diberitakan detik.com dari hasil diskusi di Perth, Australia pada Minggu 5 Februari yang lalu. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto mengungkapkan bahwa Indonesia perlu mengubah paradigma ekonomi berbasis efisiensi (efficiency-driven economy) yang sangat bergantung pada sumber daya asing, menjadi ekonomi berbasis inovasi (innovation-driven economy) yang mengandalkan produk hasil inovasi anak bangsa serta alih teknologi.
Ade Padmo Sarwono, Konsul Jenderal RI Perth, dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa suatu negara bisa menjadi negara maju ketika menciptakan inovasi.Contoh yang diambil Ade adalah Korea Selatan yang dahulu memiliki pemerintahan bergaya militer, kini menjadi produsen teknologi tingkat dunia. Bahkan mampu mengungguli negara tetangganya Jepang yang sejak kekalahan perang dunia II berevolusi menjadi negara dengan kemajuan teknologi.
Sementara itu, Unggul Priyanto mengungkapkan, yang diperlukan Indonesia saat ini adalah perbaikan infrastruktur, reformasi birokrasi yang dapat menciptakan tata kelola yang baik (good governance), serta peningkatan kondisi ekonomi mikro yang menjadi kekuatan Indonesia.
BPPT sendiri selama ini telah melakukan banyak hal dalam penerapan teknologi di berbagai sektor. Seperti pada tahun 2016 yang lalu, BPPT berhasil menelurkan beberapa inovasi penting. Seperti dalam inovasi material, yang berhasil meramu karet berkualitas tinggi yang mampu diproduksi menjadi rubber airbag yang digunakan untuk proses perpindahan kapal dari bengkel galangan menuju laut. Berkat produk dalam negeri ini, para produsen kapal dapat menghemat biaya produksi hingga 30 persen.
Selain itu juga terdapat inovasi ADS-B atau alat navigasi pesawat akan dipakai di sejumlah bandara di Papua yang sangat berguna bagi lapangan-lapangan udara yang tidak memiliki teknologi radar. Teknologi ini telah digunakan pada 36 bandara di Indonesia.
Di bidang teknologi energi, BPPT berhasil mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil tipe flash yang saat ini telah mencapai tahapan sinkronisasi dengan jaringan PLN. PLTP ini diklaim mampu menghemat biaya pembangkit listrik berbasis diesel hingga 1 Triliun rupiah per tahunnya.
Pun dalam hal teknologi informasi, BPPT pada Pemilu Kepala Daerah 2017 yang lalu berhasil menerapkan teknologi verifikasi eKTP di beberapa lokasi. Teknologi ini dianggap mampu mencegah terjadinya pencoblos ganda.
Berkat peningkatan alih teknologi, industri di Indonesia tidak lagi memerlukan bahan baku atau bahkan teknologi yang dibeli dari luar negeri. Hal ini tentu saja akan membuat produk-produk di dalam negeri lebih murah karena teknologi yang dibutuhkan asli karya dalam negeri dan tidak harus terbebani oleh biaya impor. Bahkan jika semakin banyak teknologi yang dikembangkan di Indonesia, tenaga kerja yang terserap oleh industri akan semakin besar dan tentu saja akan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Meski begitu, Unggul mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tantangan penerapan teknologi yang harus dihadapi. Diantaranya adalah standarisasi produk, pendidikan, penelitian, dan pengembangan, kerjasama dengan industri, infrastruktur, hingga sistem politik dan perundang-undangan. Oleh sebab itu, Unggul menekankan bahwa dalam implementasi inovasi teknologi diperlukan kerjasama tiga komponen yakni pemerintah, industri serta lembaga pemerintah non kementerian yang bergerak di bidang riset dan pengembangan agar implementasi teknologi berjalan maksimal.
Post A Comment:
0 comments: